a. Pengertian
Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial berarti
perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Menjadi
orang yang mampu bermasyarakat (sozialized) memerlukan tiga proses. Ketiga
proses ini akan diuraikan sebagai berikut:
·
Belajar
berperilaku yang dapat diterima secara sosial
Setiap
kelompok sosial mempunyai standar bagi para anggotanya tentang perilaku yang
dapat diterima. Untuk dapat bermasyarakat anak tidak hanya harus mengetahui
perilaku yang dapat diterima, tetapi mereka juga harus menyesuaikan perilaku
dengan patokan yang dapat diterima.
·
Memainkan
peran sosial yang dapat diterima
Setiap
kelompok sosial mempunyai pola kebiasaan yang telah ditentukan dengan seksama
oleh para anggotanya dan dituntut untuk dipatuhi. Sebagai contoh ada peran yang
telah disetujui bersama bagi orang tua dan anak serta bagi guru dan murid.
·
Perkembangan
sikap sosial
Untuk
bermasyarakat/ bergaul dengan baik anak-anak harus menyukai orang dan aktivitas
sosial. Jika mereka dapat melakukannya, mereka akan berhasil dalam penyelesaian
sosial yang baik dan diterima sebagai anggota kelompok sosial tempat mereka
menggabungkan diri.
Relatif hanya sedikit anak atau
orang dewasa yang benar-benar berhasil dalam ketiga proses ini. Meskipun
demikian, umumnya orang berharap memperoleh pernerimaan sosial sehingga sesuai
dengan tuntutan kelompok. Sebagi contoh mereka melakukannya dengan belajar
berlagak (berpura-pura) untuk menutupi pikiran dan perasaan yang mungkin tidak
dapat diterima secara sosial. Mereka belajar untuk tidak tampak bosan, mereka
belajar untuk tidak membicarakan hal yang tabu didepan orang yang tidak
menyukainya, dan mereka belajar untuk tidak menampakkan kegembiraan tatkala
orang yang tidak disukai merasa sakit hati.
b. Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial AUD
·
Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan
pertama yang memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek perkembangan individu,
termasuk perkembangan sosialnya. Kondisi dan tata cara kehidupan keluarga merupakan
lingkungan yang kondusif bagi sosialisasi. Proses pendidikan yang bertujuan
mengembangkan kepribadian anak lebih banyak ditentukan oleh keluarga, pola
pergaulan, etika berinteraksi dengan orang lain banyak ditentukan oleh
keluarga.
·
Kematangan
Pribadi
Untuk dapat bersosilisasi dengan baik diperlukan kematangan
fisik dan psikis sehingga mampu mempertimbangkan proses sosial, memberi dan
menerima nasehat orang lain, memerlukan kematangan intelektual dan emosional,
disamping itu kematangan dalam berbahasa juga sangat menentukan.
·
Status Sosial Ekonomi
Kehidupan sosial banyak dipengaruhi
oleh kondisi sosial ekonomi keluarga dalam masyarakat. Perilaku individu akan
banyak memperhatikan kondisi normatif yang telah ditanamkan oleh keluarganya.
·
Pendidikan
Pendidikan merupakan proses
sosialisasi anak yang terarah. Hakikat pendidikan sebagai proses pengoperasian
ilmu yang normatif, individu memberikan warna kehidupan sosial didalam
masyarakat dan kehidupan mereka.
·
Kapasitas Mental: Emosi dan
Intelegensi
Kemampuan berfikir dapat banyak
mempengaruhi banyak hal, seperti kemampuan belajar, memecahkan masalah, dan
berbahasa. Perkembangan emosi perpengaruh sekali terhadap perkembangan sosial.
Individu yang berkemampuan intelek tinggi akan berkemampuan berbahasa dengan baik.
Oleh karena itu jika perkembangan ketiganya seimbang maka akan sangat
menentukan keberhasilan perkembangan sosial individu tersebut.
c. Sosialisasi
Pada AUD
Perkembangan
sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial anak usia dini.
Dapat juga diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap
norma-norma kelompok, moral, dan tradisi;
meleburkan diri menjadi suatu kesatuan yang saling berkomunikasi dan bekerja
sama.
Secara potensial (fitrah) menurut Plato, manusia dilahirkan
sebagi mahluk sosial (zoon politicon). Namun untuk mewujudkan potensi tersebut
ia harus berada dalam interaksi dengan lingkungan manusia-manusia lain.
Perkembangan perilaku sosial anak ditandai dengan adanya
minat terhadap aktivitas teman-teman dan meningkatnya keinginan yang kuat untuk
diterima sebagai anggota suatu kelompok, dan tidak puas bila tidak bersama
teman-temannya. Anak tidak lagi puas bermain sendiri dirumah atau dengan
saudara-saudara kandung atau melakukan kegiatan-kegiatan dengan anggota-anggota
keluarga. Anak ingin bersama teman-temannya dan akan merasa kesepian serta
tidak puas bila tidak bersama teman-temannya.
Dua atau tiga teman tidaklah cukup baginya. Anak ingin
bersama dengan kelompoknya, karena hanya dengan demikian terdapat cukup teman
untuk bermain dan berolah raga, dan dapat memberikan kegembiraan. Sejak anak
masuk sekolah sampai masa puber, keinginan untuk bersama dan untuk diterima
kelompok menjadi semakin kuat. Hal ini berlaku baik untuk anak laki-laki maupun
anak perempuan.
Sosialisasi pada
masa awal masa kanak-kanak
Menurut Hurlock, E.B. “salah satu tugas perkembangan masa
awal kanak-kanak yang penting adalah memperoleh latihan dan pengalaman
pendahuluan yang diperlukan untuk menjadi anggota kelompok dalam akhir masa
kanak-kanak”. Jadi dalam masa kanak-kanak disebut sebagi masa prakelompok.
Dasar untuk sosialisasi diletakan dengan meningkatnya hubungan antara anak
dengan teman-teman sebayanya dari tahun ketahun. Anak tidak hanya lebih banyak
bermain dengan anak-anak lain tetapi juga lebih banyak berbicara.
Jenis hubungan sosial lebih penting daripada jumlahnya. Kalau
anak menyenangi hubungan dengan orang lain meskipun hanya kadang-kadang saja,
maka sikap terhadap kontak sosial mendatangkan lebih baik daripada hubungan
sosial yang sering tetapi sifat hubungannya kurang baik. Anak yang lebih
menyukai interaksi dengan manusia daripada benda akan lebih mengembangkan
kecakapan sosial sehingga mereka lebih populer daripada anak yang interaksi
sosialnya terbatas.
Manfaat yang diperoleh anak dengan diberikannya kesempatan
untuk berhubungan sosial akan sangat dipengaruhi oleh tingkat kesenangan
hubungan sosial sebelumnya. Yang umumnya terjadi pada masa ini adalah bahwa
anak lebih menyukai kontak sosial sejenis daripada hubungan sosial dengan
kelompok jenis kelamin yang berlawanan.
Antara usia dua dan tiga tahun, anak menunjukan minat yang
nyata untuk melihat anak-anak lain dan berusaha mengadakan kontak sosial dengan
mereka. Ini dikenal dengan bermain sejajar, yaitu bermain sendiri-sendiri,
tidak bermain dengan anak-anak lain. Kalaupun terjadi kontak, maka kontak ini
cenderung bersifat perkelahian, bukan kerja sama. Bermain sejajar merupakan
bentuk sosial yang pertama-tama dilakukan dengan teman-teman sebaya.
Perkembangan selanjutnya adalah bermain asosiatif, di mana
anak terlibat dalam kegiatan yang menyerupai kegiatan anak-anak lain. Dengan
meningkatnya kontak sosial , anak terlibat dalam bermain kooperatif, dimana ia
menjadi anggota kelompok dan saling berinteraksi.
Sebagian anak sudah mulai bermain dengan anak lain, ia masih
sering berperan sebagi penonton, mengamati anak lain bermain tetapi tidak
berusaha benar-benar bermain dengannya. Dari pengalaman mengamati ini, anak
muda belia belajar bagaimana anak lain mengadakan kontak sosial dan bagaimana
perilakunya dalam berbagai situasi sosial.
Kalau pada masa anak berusia empat tahun telah mempunyai
pengalaman sosialisasi pendahuluan, biasanya ia mengerti dasar-dasar permainan
kelompok, sadar akan pendapat orang lain dan berusaha mendapatkan perhatian
dengan cara berlagak menonjolkan diri. Dalam tahun-tahun selanjutnya ia
memperhalus perilaku baru yang dapat diterima oleh kelompok teman-temannya.
Bentuk perilaku sosial yang berhasil tampak untuk penyesuaian
sosial yang berhasil tampak dan mulai berkembang dalam periode ini. Dalam
tahun-tahun pertama masa kanak-kanak bentuk penyesuaian ini belum sedemikian
berkembang sehungga belum begitu memungkinkan anak selalu untuk berhasil dalam
bergaul dengan teman-temannya. Namun periode ini merupakan tahap perkembangan
yang yang kritis karena pada masa inilah dasar sikap sosial dan pola perilaku
sosial dibentuk. Dalam penelitian longitudinal terhadap sejumlah anak, Wadrop
halperson dalam psikologi perkembangan Hurlock, melaporkan bahwa anak yang pada
masa usia 2,5 tahun bersikap ramah dan aktif secara sosial akan terus bersikap
seperti itu sampai usia 7,5 tahun. mereka menyimpulkan bahwa “sikap sosial pada
masa 7,5 tahun diramalkan oleh sikap sosial pada 2,5 tahun”.
Secepat individu menyadari bahwa diluar dirinya itu ada orang
lain, maka mulailah pula menyadari bahwa ia harus belajar apa yang seyogyanya
ia perbuat seperti yang diharapkan orang lain. Proses belajar untuk menjadi
mahluk sosial ini disebut sosialisasi.
Anak dilahirkan belum bersifat sosial. Dalam arti, dia belum
memiliki kemampuan untuk bergaul dengan orang lain. Untuk mencapai kematangan
sosial, anak harus belajar tentang cara-cara menyesuaikan diri dengan orang
lain. Kemampuan ini diperoleh anak melalui kesempatan atau pengalaman bergaul
dengan orang-orang dilingkungannya, baik orang tua, saudara, teman sebaya
ataupun orang dewasa lainnya.
Perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh proses perlakuan atau bimbingan orang tua terhadap anak dalam mengenal berbagai aspek kehidupan sosial, atau norma-norma kehidupan bermasyarakat serta mendorong dan memberikan contoh kepada anaknya bagaimana menerapkan norma-norma tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Proses bimbingan orang tua ini lazim disebut sosialisasi.
Perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh proses perlakuan atau bimbingan orang tua terhadap anak dalam mengenal berbagai aspek kehidupan sosial, atau norma-norma kehidupan bermasyarakat serta mendorong dan memberikan contoh kepada anaknya bagaimana menerapkan norma-norma tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Proses bimbingan orang tua ini lazim disebut sosialisasi.
Suean Robinson Ambron (1981) mengartikan sosialisasi itu
sebagai proses belajar yang membimbing anak ke arah perkembangan kepribadian
sosial sehingga dapat menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab.
Sosialisasi dari orang tua ini sangatlah penting bagi anak,
karena dia masih terlalu muda dan belum memiliki pengalaman untuk membimbing
perkembangannya sendiri ke arah kematangan.
Melalui pergaulan anak atau hubungan sosial, baik dengan
orang tua, anggota keluarga, orang dewasa, dan teman sebaya lainnya, anak mulai
mengembangkan bentuk-bentuk tingkah laku sosial. Pada masa anak menurut Syamsu
Yusuf, bentuk-bentuk prilaku sosial itu adalah sebagai berikut :
·
Pembangkangan
(negativisme), yaitu bentuk tingkah laku melawan.
·
Agresi
(Agresion), yaitu perilaku menyerang balik secara fisik (nonverbal) maupun
kata-kata (verbal).
· Berselisih atau bertengkar (quarelling), terjadi apabila anak
merasa tersinggung atau terganggu oleh sikap dan perilaku anak lain.
· Menggoda (teasing), yaitu sebagai bentuk lain dari agresif.
· Persaingan (rivally)
Perilaku kita sehari-hari pada umumnya diwarnai oleh,
perasaan-perasaan tertentu, seperti rasa senang atau tidak senang, suka atau
tidak suka, atau sedih dan gembira. Beberapa perasaan lainnya adalah gembira,
cinta, marah, takut, cemas, malu, kecewa benci.
Goleman (1997) mengatakan bahwa koordinasi suasana hati
adalah inti hubungan social yang baik. Apabila seseorangdapat menyesuaikan diri
dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut
akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan
diri dalam pergaulan social serta lingkungannya. Goleman lebih lanjut
mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki
seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan,
mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan
kecerdasan emosikonal tersebut, seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi
yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.
Selanjutnya, Howes dan Herald (1999) mengatakan, pada intinya,
kecerdasan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar
menggunakan emosi. Lebih lanjut dikatakannya bahwa emosi manusia berada di
wilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi
yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasan emosional menyediakan pemahaman
yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain.
Dari beberapa pendapat diatas, dapatlah dikatakan bahwa
kecerdasan emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai
perasaan diri sendiri dan orang lain dan menggapainya dengan tepat, menerapkan
dengan efektif energi emosi dalam kegiatan pembelajaran, kehidupan dan
pekerjaan sehari-hari. Unsur penting kecerdasan emosional terdiri dari:
kecakapan pribadi (mengelola diri sendiri), kecakapan social ( menangani suatu
hubungan), dan keterampilan social (kepandaian menggugah tanggapan yang
dikehendaki pada orang lain).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar